Kutipan dari buku Muhammad Shodiq, Wahai Penghujat `Pacaran Islami'
(
"`Awaslah kalian masuk ke tempat wanita.' Seorang pria Anshar bertanya, `Wahai Rasulullah! Bagaimana dengan ipar [dan semisalnya dari kalangan
kerabat suami, seperti anak paman dan lainnya]?' Beliau menjawab, `Ipar itu maut.'" (HR Bukhari dan Muslim) "Janganlah seorang lelaki berduaan dengan seorang perempuan, kecuali disertai mahramnya." (HR Bukhari) "Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir janganlah ia berduaan dengan lawan-jenis yang tidak didampingi muhrimnya. Sebab, bila demikian, syetanlah pihak ketiganya." (HR Ahmad)
Mungkin atas dasar sabda-sabda itu, sebagian orang mengharamkan
segala macam aktivitas berduaan pria-wanita yang tidak ditemani muhrim.
Kita terimakah pandangan mereka itu? Tidak! Mengapa? Karena, sebagaimana dalam persoalan ikhtilat dan
Dapatkah dua macam hadits yang kelihatannya bertentangan tersebut
dijamak (dikompromikan)? Ya. Mengapa? Karena yang satu (yaitu yang menunjukkan larangan berduaan) bersifat `âm (umum), sedangkan yang lainnya (yaitu yang menunjukkan bolehnya berduaan) bersifat khâs (khusus). Menurut kaidah ushul fiqih, dalam penjamakan begitu, dalil yang khâs lebih diutamakan daripada yang `âm. (Lihat MTKDS: 134-146.) Hasilnya, dapat kita nyatakan bahwa kita boleh berduaan dalam keadaan tertentu, tetapi tidak boleh berduaan dalam keadaan lain.
Salah satu hadits shahih yang menunjukkan bolehnya kita berduaan
adalah sebagai berikut:
Maksudnya, menurut Hafizh Ibnu Hajar, Nabi saw. tidak berkhalwat dengan nonmuhrim, kecuali bila keadaan mereka berdua tidak tertutup dari pandangan mata orang lain dan suara mereka berdua dapat terdengar orang lain, walaupun orang lain itu tidak bisa menangkap dengan jelas apa yang mereka perbincangkan (FBSSB11: 246-247). Jadi, bukanlah tak berdasar jika kita nyatakan: Kita boleh berduaan bila
terawasi, yaitu dalam keadaan yang manakala terlihat tanda-tanda zina, yang `kecil' sekalipun, "akan ada orang lain yang menaruh perhatian dan cenderung mencegah perbuatan ini". (MCMD: 130)
Hadits tersebut juga menunjukkan, dalam pemahaman Ibnu Hajar, bahwa
ngobrol berdua dengan nonmuhrim secara rahasia (isinya tidak tertangkap orang lain) pada dasarnya tidak tercela. Sekalipun obrolan itu berisi "curhat masalah pribadi" (JNC: 43), itu pun masih tidak tercela. Apalagi, ada hadits shahih lain tentang curhat Ummu Darda kepada Salman, saudara-angkat Abu Darda (suami Ummu Darda): "Salman
melihat Ummu Darda memakai pakaian yang sudah usang. Karena itu, ia bertanya: `
Di samping tentang curhat dan berduaan, hadits yang baru saja kita baca ini mengandung peristiwa kencan juga. Dengan demikian, kencan (saling bertemu di tempat yang disepakati) bukanlah khalwat yang terlarang. Bahkan, kendati kencan itu berlangsung antarlawan-jenis yang dilanda asmara, itu pun tidak tercela. (Lihat pula hadits yang disebut di Bab 2, yaitu yang mengisahkan percintaan seorang pemuda
dengan seorang gadis Hubaisy.)
Namun, tentu saja, syarat `terawasi' harus terpenuhi. Jika tidak, maka kita harus memperhatikan nash-nash yang telah kita simak tadi, yaitu yang menunjukkan larangan khalwat. Kalau berduaan "tanpa sepengetahuan orang lain" (PIA: 37), maka khalwat itu menjadi terlarang.
Daftar Pustaka
FBSSB Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bârî fî Syarh Shahîh al-Bukhârî
JNC Oleh Solihin dan Iwan Januar, Jangan Nodai Cinta (Jakarta: Gema Insani Press, 2004)
KHP Robi'ah Al-Adawiyah, Kenapa Harus Pacaran?! (Bandung: DAR! Mizan, 2004)
KW Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, enam jilid, terj. Chairul Halim & As'ad Yasin (Jakarta: Gema Insani Press, 1997-1998)
MCMD Aisha Chuang, Manajemen Cinta Musim Dingin: Ada ukhuwah abang disayang, tak ada ukhuwah abang ditendang (Surakarta: Bunda Yurida, 2003)
MTKDS Muhammad Wafaa, Metode Tarjih atas Kontradiksi Dalil-dalil Syara', terj. Muslich (Bangil: Al-Izzah, 2001)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar