“Sam, ada surat!” teriakan itu berasal dari ruang tamu. Bergegas aku keluar dari kamar, meninggalkan tumpukan laporan—tugas dari Lab Biokimia—yang dari kemarin nggak kelar-kelar. Itu pasti surat dari Ibu, surat yang memang kutunggu-tunggu balasannya. Benar saja, dugaanku tidak meleset, surat itu memang dari Ibu di kampung. Kembali aku masuk ke kamar, mengunci pintu dari dalam, lalu mengambil posisi terbaik di atas tempat tidur. Sejenak aku lupa bahwa tugasku dikumpul esok hari.
Aku menulis surat pada Ibu sebulan yang lalu. Isinya tidak minta dikirimkan wesel sebagaimana surat-suratku sebelumnya. Juga bukan mengabarkan kalau aku lagi sakit dan sebagainya. Isi suratku itu sangat, mungkin itulah surat tersingkat yang pernah kubuat. Saking singkatnya, sampai sekarang aku masih hafal kata-kata yang kutulis, begini: Ibu, aku ingin menikah, apakah Ibu, Bapak, dan yang lainnya setuju dan merestui? Kutunggu balasan Ibu. Hanya itu, singkat bukan? Dan sekarang aku menerima balasannya.
Keinginan untuk menikah sebenarnya sudah merasuki benakku sejak setahun yang lalu, saat aku masih duduk di tingkat pertama di fakultas MIPA USU, jurusan Farmasi. Selama setahun niat untuk menggenapkan separuh dien itu jadi agenda pikiran utamaku, disamping masalah kuliah tentunya. Tentu saja tak ada seorang pun yang tahu masalah ini higga surat buat Ibu itu akhirnya kutulis.
Tak sabar akhirnya kurobek amplop surat dari Ibu, dan mengeluarkan berlembar-lembar kertas dari dalamnya. Aku sudah yakin isinya pastilah ceramah panjang lebar yang intinya mereka menolak niat suci dan agung itu. Untuk lebih pasti ada baiknya langsung dibaca bukan?
Pantas saja surat itu berlembar-lembar, rupanya bukan hanya Ibu yang menulis. Setelah kuhitung ada sembilan lembar, di bagian atasnya tertulis nama masing-masing penulis, rupanya Ibu telah bergerilya mengumpulkan pendapat saudara-saudaraku yang lain, mungkin itu sebabnya balasannya agak terlambat kuterima. Ada surat dari Ibu, Bapak, enam lembar yang lain dari Abang dan Kakakku dan tak ketinggalan keponakanku paling besar yang sudah duduk di bangku SMU juga turut menyumbangkan pendapatnya. Aku tersenyum, mirip ulangan saja, mereka adalah siswa dan aku yang memeriksa hasil ulangannya. Ah, surat siapa yang harus kuperiksa…eh, baca duluan? Kuambil salah satu.
Ibu
Terus terang Ibu kaget. Kau anak Ibu yang paling bungsu, yang sampai sekarang masih suka ngambek kalau dijahili Abang dan Kakakmu, ternyata sudah ingin menikah. Tidakkah kau merasa usiamu masih terlalu muda? Lagipula kau seorang lelaki, tak perlu cepat-cepat menikah. Lagian Abangmu Hendi dan kakakmu Nia belum menikah, apa kau ingin melangkahi keduanya? Tak baik itu. Pokoknya Ibu tidak setuju. Ingat, jangan sampai kuliahmu terganggu karena masalah ini.
Itulah inti surat dari Ibu, masih ada yang lainnya, menanyakan kesehatanku, juga nasihat lain seperti biasanya, jangan lupa salat, jangan telat makan, jangan sering keluar malam, dll.
Batu sandungan pertama kujumpai, Ibu tidak menyetujui. Tapi apa hanya karena masalah usia? Tidakkah Ibu tahu usia berapa Aisyah saat menikah dengan Baginda Rasul? Atau apakah karna dia wanita lalu boleh cepat menikah sedang lelaki nggak usah buru-buru? Kurasa lelaki dan wanita tak boleh dibedakan dalam hal ini, semua punya hak yang sama. Lagipula kedewasaan seseorang tak bisa dilihat dari usianya. Banyak mujahid dan mujahidah di Palestina, Afghan, juga di Indonesia ini yang masih berusia belasan tahun, tapi sudah mampu dan bersikap dewasa. Sedang umurku tidak belasan lagi, tapi sudah 22 tahun, bukankah cukup pantas untuk menikah? Argumen Ibu masih bisa kutangkis, insya Allah. Aku akan bilang begini pada Ibu, “Jadi tua itu pasti, jadi dewasa…itu pilihan’ (he…he…he…). Lalu kuambil surat kedua.
Bapak
Ha…ha…kau serius, Sam? Bapak nggak nyangka, kau yang dari dulu pendiam ternyata bisa melucu juga. Bapak tahu, kau hanya main-main. Anakku, menikah itu bukan hal main-main. Tanggung jawabnya besar. Apa kau sudah sanggup membiayai keluargamu nanti? Apa kau sanggup memberi makan anak orang? Sam, sampai surat ini selesai Bapak tulis, Bapak masih tertawa. Sama sekali tidak menyangka, kau ternyata punya bakat humor.
Batu sandungan ke dua. Sejak awal aku yakin Bapak akan marah besar. Tapi ternyata tidak, Bapak malah menganggap aku sedang melucu, apakah keinginan untuk menikah itu lucu? Nampak sekali kalau Bapak meragukanku dalam hal keuangan. Apa kau sanggup memberi makan anak orang? Mengapa tidak? Bukankah aku sudah bekerja dan tak pernah minta dikirimi uang lagi kecuali untuk keperluan kuliah yang benar-benar mahal? Aku hanya kuliah pagi hari, siangnya aku jadi tentor di sebuah Bimbingan Belajar dan malamnya mengajar privat di rumah Bu Retno, ditambah lagi dengan honor dari tulisanku yang dimuat di media massa. Dalam sebulan aku sudah bisa menghasilkan tak kurang dari enam ratus ribu rupiah, dan aku sudah memperhitungkan kalau itu sudah lebih dari cukup untuk menghidupi aku dan istriku nanti, tentu saja hidup yang sederhana, mencontoh Rasulullah tentunya.
Kak Yarni
Hebat kamu, Sam. Kakak nggak nyangka kamu sudah memikirkan itu sekarang. Kakak sangat setuju. Untuk biaya pesta nanti, Kakak yang akan tanggung sepenuhnya. Tapi…orangnya cantikkan?
Dari dulu Kak Yarni—kakakku paling besar—memang selalu mendukung apapun yang kuinginkan, termasuk untuk kuliah di kota Medan ini, jauh dari orang tua dan kampung halaman. Biaya pesta? Terima kasih deh, Kak. Tapi yang jelas nantinya tak akan ada pesta besar-besaran seperti yang Kakak bayangkan. Itu cuma suatu pemborosan. Pesta pernikahanku nanti mungkin juga pesta yang menurut semua orang di kampung kita adalah pesta yang aneh, di mana tamu pria dan tamu wanita di pisah, juga tak ada hiburan musik sebagaimana pesta-pesta biasanya. Dan mengenai calonku…tentu saja ia cantik, menurutku tentunya. Tapi belum tentu cantik menurut Kakak, karena fisik bagiku bukan masalah utama, kecantikan hati dan akhlak bagiku adalah kriteria utama. Tapi walau bagaimanapu aku tetap berterima kasih pada kakakku, karena dia orang pertama yang mendukung niatku.
Surat-surat yang lain tak jauh beda dari surat-surat yang sudah kubaca. Kak Ati—kakakku yang nomor dua—menolak habis-habisan. Katanya kuliahku harus selesai dulu, atau kalau aku mau melanjutkan S2 dia sanggup menanggung biayanya, setidaknya aku harus mendapatkan kerja dulu sesuai dengan ijazahku, kalau tidak maka jangan harap dia akan merestui pernikahanku. Inilah salah satu saudaraku yang begitu mengejar dunia, seolah dunia adalah segala-galanya dan akhirat adalah urusan kecil yang bisa dipikir belakangan.
Surat dari Bang Rio tidak begitu panjang, dia hanya menurut, kalau ibu dan bapak setuju katanya silahkan saja. Tapi kalau tidak, katanya jangan coba-coba melanggar, bahaya.
Yang sedikit agak menyudutkan adalah surat dari Kak Nia—kakakku yang belum menikah. Dia bilang tak akan menganggapku adik lagu kalau sampai aku melangkahinya. Katanya itu pantangan, bisa-bisa dia nanti tak dapat jodoh. Kata siapa? Kalau dia mau, sebenarnya dari dulu dia sudah bisa menikah. Sudah banyak pemuda yang melamarnya, tapi semua ditolaknya, nggak cakeplah, nggak kayalah, terlalu kampunganlah, dan sempai sekarang dia masih mencari pria yang sempurna menurutnya itu. Pernah suatu kali kukatan padanya, kalau menunggu pria yang sempurna kayaknya nggak bakalan datang deh, Kak, soalnya Baginda Rasul udah meninggal. Dia langsung mencak-mencak.
Surat itu sangat berbeda dengan surat Bang Hendi yang juga belum menikah. Dia malahan sangat mendukung, katanya kalau memang sudah ada keinginan dan kemampuan sebaiknya dilaksanakan, dia sendiri katanya tak usah dipikirkan, toh jodoh Tuhan yang atur.
Begitulah, ada yang pro dan ada yang kontra, dan memang begitulah manusia. Oh ya, masih ada satu surat yang belum kubaca, dari Yogi, keponakanku.
Om Sam, Yogi sih setuju aja kalau Om menikah, tapi dengan satu syarat, Om harus ajari Yogi gimana cara manggaet gadis. Yogi heran, Om kan wajahnya nggak cakep-cakep amat, tapi kok bisa dapat pacar, Yogi yang ganteng aja masih nggak tahu cara dapatin pacar. Udah ya, Om?
Aku tersenyum sambil melipat kembali lembaran-lembaran surat itu. Masih banyak anggota keluarga yang perlu siraman rohani. Masih banyak hati mereka yang gersang, termasuk si Yogi yang mungkin tak akan percaya kalau kukatakan bahwa pacaran itu dosa.
***
Liburan semester sudah di depan mata. Aku sudah tak sabar ingin pulang kampung. Liburan semester lumayan lama, satu setengah bulan, dan kurasa waktu itu cukup panjang bagiku untuk meyakinkan ibu bapak, juga saudara-saudaraku tentang keinginan, dan kurasa juga masih tersisa waktu untuk melangsungkan pernikahan nantinya.
Aku yakin bisa memberikan argumen-argumen yang nantinya akan membuat mereka mengangguk-anggukkan kepala. Menikah usia muda? Tak ada satu ayat Alquran yang melarang, bahkan malah dianjurkan kepada pemuda dan pemudi yang sudah sanggup untuk segera melaksanakannya. Masalah usia, memang aku bungsu di keluarga, tapi urusan pernikahan, aku pakarnya, he…he…he… Puluhan seminar, diskusi-diskusi dan kajian-kajian tentang menikah usia muda telah kuikuti, makanya aku optimis bisa meyakinkan seluruh anggota keluarga.
Perjuanganku berhasil dengan sukses yang luar biasa. Ibu dan Bapak akhirnya merestuiku, setelah sebelumnya aku sudah berkali-kali meyakinkan dan menyitir beberapa ayat Alquran dan Hadis. Sedang saudara-saudaraku yang lain tidaklah begitu susah kuhadapi. Setelah Bapak dan Ibu merestui, secara serempak mereka semua juga turut mendukung. Bahkan Kak Nia yang katanya nggak mau menganggapku adik lagi kalau sampai aku melangkahinya malah mengatakan hal yang tak kusangka-sangka.
“Sam, bagaimana kalau kita adakan acara pernikahannya barengan saja? Insya Allah Kakak sudah punya calon dan Kakak yakin sesuai dengan kriteria yang kamu sebutkan dalam memilih pasangan.” Tak hanya aku, Ibu, Bapak, dan saudara-saudaraku yang lain yang memang sengaja berkumpul untuk membicarakan masalah pernikahan tersenyum bahagia.
“Tapi, Sam, calon istrimu siapa?” Kak Yarni tiba-tiba mengajukan pertanyaan. Pertanyaan itu memang sudah kutunggu-tunggu. Dari tadi aku sibuk membayangkan reaksi semuanya seandainya aku menyebutkan siapa calonku.
Sebelum aku menjawab, tiba-tiba Siti—pembantu di rumah ini—datang menghidangkan minuman. Seperti biasa, sambil tersenyum dia mempersilahkan kami minum, lalu kembali ke belakang.
“Saya akan menikah dengan…Siti,” jawabku akhirnya setelah semua menunggu-nunggu. Sitilah temanku di SMP dulu yang hafalan Qurannya hampir 15 juz. Reaksi yang kuterima sungguh luar biasa. Bola mata Ibu dan Bapak membulat, Kak Nia dan Kak Ati terlonjak. Bang Hendi melongo, dan yang paling mengejutkan adalah Kak Yarni, dia pingsan.
Tapi apapun reaksi mereka, aku akan kembali meyakinkan, bahwa pilihanku tidak salah. Bahwa Siti memang memenuhi semua kriteria istri solehah yang kuidamkan, walaupun Siti lebih tua dua tahun dariku. Aku yakin Siti tak akan menolak.
Medan, 7 Januari 2003